Selasa, 16 Maret 2021

REFLEKSI SETAHUN BERLANGSUNGNYA PEMBELAJARAN JARAK JAUH (PJJ)

Oleh : Ahmad Amirul Sir

Tepat setahun yang lalu, proses pembelajaran di sekolah diubah dan dipindahkan ke rumah. Hal ini berlaku bagi seluruh sekolah yang berada di seluruh Indonesia. Basis pembelajaran pun berubah. Awalnya, pembelajaran terselenggara dengan interaksi antara manusia dan siswa secara langsung dan aktif. Namun, perubahan proses pembelajaran tersebut berubah menjadi via telepon genggam.

 

Kebijakan ini diambil pemerintah tepat 2 minggu setelah kasus pertama COVID-19 diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, pada 2 Maret 2020. Proses pembelajaran jarak jauh atau daring ini akan “hanya” berlangsung selama 14 hari. Namun, peningkatan jumlah penderita COVID-19 dan penyebaran virus yang terjadi begitu cepat, membuat proses pembelajaran jarak jauh terus berlangsung hingga saat ini.

 

Proses PJJ memberi dampak yang sangat besar, baik secara psikologis, fisiologis, ataupun intelektualitas siswa. Secara psikologis, kondisi kesehatan jiwa siswa cenderung tidak baik. Bahkan menurut Survei yang dilakukan oleh UNICEF pada Mei 2020, menyatakan bahwa 66% siswa tidak nyaman dengan PJJ yang berlangsung selama ini. Selain itu, terbatasnya ruang dan interaksi sosial siswa yang belajar dari rumah dan kewajiban membantu orangtua mengerjakan beberapa pekerjaan rumah membuat siswa cenderung stres.

 

Fisiologis siswa juga cenderung kurang baik selama proses PJJ berlangsung. Hal ini dikarenakan siswa yang harus mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh beberapa guru dalam sehari. Belum lagi resiko siswa terkena miopia yang cenderung meningkat, karena mata siswa yang harus menatap layar telepon dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, tingkat kekerasan yang dialami oleh siswa selama PJJ berlangsung cenderung meningkat. Menurut survei yang dilakukan Wahana Visi Indonesia menyatakan 77% siswa mengalami kekerasan di rumah selama PJJ berlangsung.

 

Secara intelektualiras, prestasi akademik siswa rata-rata menurun.  Hal ini disebabkan oleh beberapa guru yang cenderung tidak mengerti keadaan siswa. Diakui oleh Manteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa PJJ dapat berakibat pada penurunan prestasi akademik siswa dan berkurangnya kesehatan mental siswa. Selain itu, proses pembelajaran jarak jauh membuat pengusasaan materi terhadap pelajaran di sekolah cenderung kurang.

 

Belum lagi kesulitan ekonomi orangtua siswa. Padahal, proses PJJ mengharuskan siswa untuk memiliki handphone dan kuota internet yang mencukupi. Namun, harga kuota internet cenderung mahal dan tidak terjangkau bagi beberapa kalangan yang merasakan kesulitan ekonomi. Kita bisa melihat beberapa kasus yang sempat ramai diperbincangkan di media sosial, seperti kisah anak yang mencuri handphone demi mengikuti proses PJJ dan kisah siswa yang harus mengamen di jalanan agar mendapat uang untuk membeli kuota internet.

 

Selain itu, sarana dan infrastruktur internet belum tersebar secara merata di seluruh Indonesia.  Hal ini tentu menyulitkan masyarakat yang tidak bisa bersekolah dan mengikuti proses PJJ karena berdomisili di desa-desa atau kampung-kampung yang cukup terpencil atau berada di kaki gunung. Tentu ini menyulitkan karena kurangnya sarana dan infrastruktur internet. Untuk mengikuti PJJ, siswa harus berjalan keluar cukup jauh untuk mendapatkan jaringan internet.

 

Sejak PJJ berlangsung pada 16 Maret 2020, pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah mengeluarkan berbagai kebijakan guna mengatasi kesulitan-kesulitan akibat PJJ. Mulai dari peniadaan UN dan US, penyederhanaan kurikulum, hingga pemberian kuota internet kepada guru dan siswa. Namun, jika kebijakan pemerintah tersebut tidak diiringi dengan kesadaran individu, baik guru ataupun siswa, maka hasilnya akan tidak memiliki dampak yang berarti terhadap penyelenggaraan proses PJJ.

 

Kini, harapan siswa seluruh Indonesia hanyalah terselenggaranya proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Yaitu proses pembelajaran yang tidak membebani siswa dengan tugas-tugas, dan proses pembelajaran dengan penguasaan materi yang cukup oleh siswa, sehingga membuka peluang siswa untuk berprestasi secara akademik. Selain itu, siswa Indonesia juga sangat berharap terciptanya lingkungan belajar yang ramah dan berintegritas. Sehingga, siswa dapat belajar melalui apa saja di lingkungan sekelilingnya, seperti keluarga, tetangga, teman setongkrongan, hingga media sosial. Dengan demikian, siswa Indonesia menjadi harapan sebagai generasi emas menuju  seabad Indonesia merdeka.

0 komentar:

Posting Komentar