Oleh : Ahmad Amirul Sir
Tepat setahun yang lalu, proses pembelajaran di sekolah diubah dan
dipindahkan ke rumah. Hal ini berlaku bagi seluruh sekolah yang berada di
seluruh Indonesia. Basis pembelajaran pun berubah. Awalnya, pembelajaran terselenggara
dengan interaksi antara manusia dan siswa secara langsung dan aktif. Namun,
perubahan proses pembelajaran tersebut berubah menjadi via telepon genggam.
Kebijakan ini diambil pemerintah tepat 2 minggu setelah kasus pertama COVID-19
diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo bersama Menteri Kesehatan
Terawan Agus Putranto, pada 2 Maret 2020. Proses pembelajaran jarak jauh atau
daring ini akan “hanya” berlangsung selama 14 hari. Namun, peningkatan jumlah
penderita COVID-19 dan penyebaran virus yang terjadi begitu cepat, membuat proses
pembelajaran jarak jauh terus berlangsung hingga saat ini.
Proses PJJ memberi dampak yang sangat besar, baik secara psikologis,
fisiologis, ataupun intelektualitas siswa. Secara psikologis, kondisi kesehatan
jiwa siswa cenderung tidak baik. Bahkan menurut Survei yang dilakukan oleh
UNICEF pada Mei 2020, menyatakan bahwa 66% siswa tidak nyaman dengan PJJ yang
berlangsung selama ini. Selain itu, terbatasnya ruang dan interaksi sosial siswa
yang belajar dari rumah dan kewajiban membantu orangtua mengerjakan beberapa
pekerjaan rumah membuat siswa cenderung stres.
Fisiologis siswa juga cenderung kurang baik selama proses PJJ
berlangsung. Hal ini dikarenakan siswa yang harus mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan oleh beberapa guru dalam sehari. Belum lagi resiko siswa terkena miopia
yang cenderung meningkat, karena mata siswa yang harus menatap layar telepon
dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, tingkat kekerasan yang dialami oleh
siswa selama PJJ berlangsung cenderung meningkat. Menurut survei yang dilakukan
Wahana Visi Indonesia menyatakan 77% siswa mengalami kekerasan di rumah selama
PJJ berlangsung.
Secara intelektualiras, prestasi akademik siswa rata-rata menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa guru yang
cenderung tidak mengerti keadaan siswa. Diakui oleh Manteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa PJJ dapat berakibat pada
penurunan prestasi akademik siswa dan berkurangnya kesehatan mental siswa.
Selain itu, proses pembelajaran jarak jauh membuat pengusasaan materi terhadap
pelajaran di sekolah cenderung kurang.
Belum lagi kesulitan ekonomi orangtua siswa. Padahal, proses PJJ
mengharuskan siswa untuk memiliki handphone dan kuota internet yang
mencukupi. Namun, harga kuota internet cenderung mahal dan tidak terjangkau
bagi beberapa kalangan yang merasakan kesulitan ekonomi. Kita bisa melihat
beberapa kasus yang sempat ramai diperbincangkan di media sosial, seperti kisah
anak yang mencuri handphone demi mengikuti proses PJJ dan kisah siswa
yang harus mengamen di jalanan agar mendapat uang untuk membeli kuota internet.
Selain itu, sarana dan infrastruktur internet belum tersebar secara
merata di seluruh Indonesia. Hal ini
tentu menyulitkan masyarakat yang tidak bisa bersekolah dan mengikuti proses
PJJ karena berdomisili di desa-desa atau kampung-kampung yang cukup terpencil
atau berada di kaki gunung. Tentu ini menyulitkan karena kurangnya sarana dan
infrastruktur internet. Untuk mengikuti PJJ, siswa harus berjalan keluar cukup
jauh untuk mendapatkan jaringan internet.
Sejak PJJ berlangsung pada 16 Maret 2020, pemerintah dalam hal ini adalah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI telah mengeluarkan berbagai kebijakan
guna mengatasi kesulitan-kesulitan akibat PJJ. Mulai dari peniadaan UN dan US, penyederhanaan
kurikulum, hingga pemberian kuota internet kepada guru dan siswa. Namun, jika
kebijakan pemerintah tersebut tidak diiringi dengan kesadaran individu, baik
guru ataupun siswa, maka hasilnya akan tidak memiliki dampak yang berarti
terhadap penyelenggaraan proses PJJ.
Kini, harapan siswa seluruh Indonesia hanyalah terselenggaranya proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Yaitu proses pembelajaran yang tidak membebani siswa dengan tugas-tugas, dan proses pembelajaran dengan penguasaan materi yang cukup oleh siswa, sehingga membuka peluang siswa untuk berprestasi secara akademik. Selain itu, siswa Indonesia juga sangat berharap terciptanya lingkungan belajar yang ramah dan berintegritas. Sehingga, siswa dapat belajar melalui apa saja di lingkungan sekelilingnya, seperti keluarga, tetangga, teman setongkrongan, hingga media sosial. Dengan demikian, siswa Indonesia menjadi harapan sebagai generasi emas menuju seabad Indonesia merdeka.
0 komentar:
Posting Komentar