Sabtu, 10 April 2021

Buyutku (bukan) Pahlawan Bangsa

Oleh : Ahmad Amirul Sir

Sesuatu yang selalu mahal harganya : kesederhanaan. Aku menuliskan kata-kata yang dituturkan oleh Bung Hatta itu di atas lembaran buku catatanku yang dibungkus kulit sintetis berwarna hitam. Melihat kembali buku catatanku ini, aku kembali teringat peristiwa ketika aku mendapat kabar bahwa kedua orang tuaku meninggal dunia akibat kecelakaan setelah pulang kerja. Konon, mereka berencana menjengukku bersama Kakek di kampung keesokan harinya. Saat itu, aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Namun, aku tidak berlarut dalam kesedihan. Sebab, aku percaya bahwa orangtuaku bangga memiliki anak sepertiku yang rajin membantu Kakek di kampung. Namaku Didi Prasetyo dan kakek yang mengasuhku bernama Hasto Purwanto.

Hari ini adalah hari selasa. Pasar di ibukota kecamatan sedang ramai. Aku memutuskan untuk pergi ke pasar bersama kakekku untuk membeli beberapa barang yang telah habis sejak pekan lalu. Seingatku, ini adalah kali pertamaku pergi bersama Kakek ke pasar. Hal itu karena keperluan kami sering diantar oleh om Supardi, keluarga kami yang juga pedagang di pasar itu. Namun, saat ini om Supardi sedang sakit. Sehingga, kami harus berangkat sendiri ke pasar.

Ketika kami sampai di pasar, orang-orang yang berpapasan dengan kami sontak menjauh. Beberapa orang juga sinis terhadap keberadaan kami. Mungkin kakekku tidak menyadari hal ini. Namun, aku agak risih. Kejadian ini membuat aku berpikir kami adalah  manusia yang paling kotor di dunia ini. Setelah kami berjalan agak jauh ke dalam pasar dan membeli beberapa barang, jumlah orang-orang yang memperlakukan kami seperti tadi sewaktu memasuki pasar mulai berkurang. 

Ketika Kakek sedang belanja panganan pasar, aku memberanikan diri berbisik padanya mengenai kejadian tadi sewaktu memasuki pasar. “Oh, enggak apa-apa. Santai aja”, jawab Kakek.

Setelah selesai berbelanja, kami memutuskan untuk pulang. Namun, kejadian yang tadi terjadi saat kami memasuki pasar, kembali terjadi saat kami keluar dari pasar. Bahkan, beberapa orang menyoraki kami. Kakek yang berjalan di samping kananku, terlihat mengedarkan senyumnya kepada semua orang. Kakek yang malang, batinku.

Sesampainya kami di rumah, Kakek lantas membakar rokoknya dan duduk di selasar rumah kami yang sedikit reyot. Aku kembali bertanya pada Kakek mengenai kejadian tadi sewaktu di pasar. ”Nggak ada apa-apa kok, Di. Kamu nggak usah mikirin mereka”, jawab Kakek.

“Kok nggak ada apa-apa, kek ? Padahal mereka sampai menyoraki kita tadi”, jawabku.

Kakek terdiam sejenak menikmati rokoknya.

“Kalau Kakek masih tidak mau bilang, tidak apa-apa. Tapi, jangan heran kalau besok aku tidak ke sekolah”, ancamku pada Kakek.

Kakek lalu mengembuskan rokoknya. Kakek kemudian menarik napas, dan mulai bercerita. 

“Didi, kamu sudah beranjak dewasa. Mungkin sudah waktunya kamu mengetahui kebenaran keluarga kita. Dahulu buyutmu bekerja sebagai seorang prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), namanya Purwanto, biasa dipanggil Datuak Ludo. Karirnya di ABRI berawal dari jabatan sebagai komandan peleton dan ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia bersama gerilyawan lainnya pada tahun 1945. Kemudian, jabatannya naik menjadi komandan kompi pada tahun 1958. 

Namun, Datuak Ludo tidak puas pada pemerintah saat itu, khususnya para elite negara yang berada di Jakarta. Dia merasa pemerintah tak acuh pada kesejahteraan rakyat, khususnya prajurit TNI yang berpangkat rendah. Selain itu, perekonomian nasional juga terpuruk akibat adanya persaingan antara elite nasional. Hingga suatu hari, Datuak Ludo menghilang dari pasukannya karena ikut bergabung bersama Kolonel Ahmad Hussein di Padang yang mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah saat itu. 

Namun, bukannya tuntutan mereka disambut atau malah dituruti, mereka malah dihabisi. Pesawat-pesawat milik Angkatan Udara Republik Indonesia terbang dan menjatuhkan bom ke barak mereka yang terletak jauh di pegunungan. Selain itu, mereka juga ditangkap dan dipenjara dengan vonis seumur hidup. Kakek saat itu masih sangat muda untuk mengerti masalah ini.

Setelah 20 tahun, Datuak Ludo mendapat remisi dan keluar dari penjara. Namun, siksaan yang dialami Datuak Ludo juga tak ada habisnya. Datuak Ludo terdiskriminasi di lingkungan. Bahkan keluarga Datuak Ludo, termasuk kakek difitnah di masyarakat karena keterlibatan Datuak Ludo dalam pemberontakan PRRI. Fitnah itu menyebutkan bahwa kami, keluarga Datuak Ludo, suka melakukan pesugihan dan memelihara tuyul.

Diskriminasi yang dialami Datuak Ludi tak sampai disitu. Salah satu bekas anak buah Purwanto, Mardhoni mendapatkan uang pensiun saat dia pensiun. Sedangkan Dauak Ludo tidak mendapatkannya. Semua yang dialami Datuak Ludo adalah akibat keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI di Padang. Negara seolah lupa kalau Datuak Ludo pernah berjuang membela kemerdekaan. Lencana tanda jasa yang diberikan negara pada Datuak Ludo pun dicabut karena keterlibatannya pada pemberontakan PRRI”, tutur Kakek seraya menangis menceritakan kejadian sebenarnya.

Aku terhenyuk mendengar cerita yang dituturkan Kakek. Ternyata, buyutku adalah pahlawan yang terlupakan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bagaimana agar orang lain bisa mengetahui kebenaran ini ? Mungkin orang tua teman-temanku akan percaya, pikirku. Namun, setelah membicarakan pada mereka, orangtua mereka juga tidak percaya.

Satu-satunya sahabatku, Roni bersedia mendengar cerita-ceritaku. Dia lalu menyarankan, “Kamu tulis opini aja, Di. Lalu, kirim ke redaksi surat kabar Layar Terkembang yang ada di kota. Kalau opini kamu dimuat, orang-orang bisa tahu tentang kebenaran yang kamu katakan”, ujarnya. 

Dengan segera, aku pulang ke rumah dan mengambil pulpen yang terselip di antara tumpukan buku di kamarku. Dengan menyobek selembar kertas dari bukuku, aku akan mengikuti saran Roni. Aku menulis opini dan mengirimkannya pada redaksi surat kabar Haluan yang ada di kota, dengan harapan agar dimuat dalam surat kabar tersebut. Dengan dimuatnya opini itu, kebenaran mengenai keluargaku bisa diketahui oleh orang lain. 

Tak butuh waktu lama, opiniku dimuat di surat kabar Haluan sepekan setelah aku mengirimnya. Seminggu kemudian, banyak orang yang mencari keberadaanku, dan mereka hanya sempat bertemu dengan Kakek. Mereka mengaku sebagai teman seperjuangan Datuak Ludo yang memberontak untuk memperjuangkan penderitaan rakyat. Ya, mereka juga  bergabung bersama buyutku saat pemberontakan PRRI. Opiniku yang berjudul “Buyutku (bukan) Pemberontak”, sepertinya mewakili suara para perwira ABRI yang memberontak dalam Pemberontakan PRRI. 

Ternyata, Kakek masih bingung dengan apa yang terjadi. Aku lalu menceritakan semua yang terjadi. Sontak, Kakek tertawa diiringi tangis kebahagiaan. Masyarakat juga telah berubah dalam hal memperlakukanku setelah surat kabar Layar Terkembang memuat opiniku. Diskriminasi terhadap keluargaku juga mulai berkurang. Pada saat kami ke pasar tiga hari lalu, beberapa orang telah menyapa dan menjabat tangan kami erat-erat. 

Kemarin, ketika aku pergi ke sekolah, guru sejarah di sekolahku, Bu Santi, memanggilku dengan alasan ingin membicarakan sesuatu. Dia mengorek laci kecil di bawah mejanya dan mengeluarkan sebuah kotak. Setelah dibuka, isinya adalah sebuah lencana kuningan beserta selembar piagam yang telah dibingkai. 

“Apa itu bu ?”, tanyaku penasaran.

“Ini lencana dan piagam tanda jasa. Biasanya diberikan negara untuk prajurit yang telah berjasa saat perang revolusi kemerdekaan”, jawab Bu Santi. 

“Ibu mendapatkan ini darimana ?”, tanyaku heran.

“Kabarnya, opini kamu yang dimuat surat kabar Layar Terkembang, dimuat kembali oleh surat kabar Arah di Jakarta. Mungkin saja ada pejabat yang berwenang membaca opini kamu itu. Sekarang, negara ingin mengembalikan derajat keluarga kamu dengan mengakui jasa kakek buyutmu dalam perang revolusi kemerdekaan. Paket ini tiba kemarin sore. Soal dana pensiun, itu tidak bisa diberi kembali. Pasalnya, kakek buyut kamu sudah berkalang tanah”, jawab Bu Santi dengan raut wajah sedih diujung kalimat. Sebelum menyerahkan barang berharga itu, Bu Santi bertutur, 

“Nak, sejarah itu milik waktu dan masa lalu, sehingga penuh misteri. Kita yang hidup di masa kini tidak bakal tahu kejadian masa lalu jika tidak diceritakan oleh mereka yang mengalami kejadian itu. Sehingga, jika ada dua narasi sejarah yang muncul, kita tidak pernah tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Semuanya tergantung pada perspektif kita melihat peristiwa itu. Dan sebagaimana kakek buyutmu, negara juga pasti memiliki alasan mengapa mereka menghabisi para pemberontak. 

Tapi, itu masa lalu, Di. Indonesia masih berumur 13 tahun sejak proklamasi bergema.  Umur Indonesia saat itu terhitung masih sangat muda. Dan tugas kita saat ini bukan merawat luka yang ada di masa lalu, nak. Tapi, bagaimana caranya kita belajar dari masa lalu agar kesalahan di masa lalu tidak terulang kembali”, ujar Bu Santi dengan raut wajah serius dengan helaan napas di ujung ucapannya.

“Oke. Apa kamu paham, Didi ?”, tanya Bu Santi santai.

“Paham bu”, jawabku yakin penuh semangat. 

“Kalau kamu sudah paham, ini lencana dan piagam tanda jasa kakek buyutmu. Hadiahkan ini ke kakekmu. Bahagiakan dia”, balas Bu Santi seraya menyerahkan padaku sebuah kotak berisi lencana kuningan dengan gambar garuda ditengahnya serta sebuah piagam tanda jasa yang telah dibingkai dengan pigura berwarna emas. 

Saat pulang sekolah, aku membungkusnya dengan kertas kado bermotif loreng. Setibanya aku di rumah, Kakek tengah duduk di selasar rumahnya seraya mengisap rokok kretek, sedang tangannya lincah membuat anyaman. Aku kemudian duduk disampingnya. Kakek lalu bertanya, 

“Apa yang kamu bawa itu, Di ?”, tanya Kakek penasaran.

“Kek, ini ada hadiah untuk kakek. Coba kakek buka”, ujarku seraya menyerahkan kotak bermotif loreng itu.

Kakek lalu meraih dan membuka kotak pemberianku. Tampak mata Kakek sendu dan berbinar-binar.

“Kakek, ini lencana dan piagam tanda jasa Datuak Ludo yang dicabut itu. Negara sudah minta maaf, Kek. Keluarga kita sudah tidak boleh dipandang rendah lagi hanya karena Datuak Ludo terlibat pemberontakan”, ujarku seraya menitikkan air mata. Kakek lalu bergerak memelukku. Kakek mendekapku sangat erat seraya tersedu-sedu. Kami menangis bahagia. Setelah sekian lama, derajat keluarga kami akhirnya bisa setara dengan keluarga lain di masyarakat, batinku diiringi titik air mata yang jatuh perlahan.



Cerita ini meraih Juara 1 dalam Lomba Cipta Cerita Sonic Linguistic yang diselenggarakan secara Nasional oleh MAN Insan Cendekia Serpong. 

Selain itu, cerita ini juga telah meraih Juara 1 Lomba Cipta Cerpen yang diselenggarakan di tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara oleh HMJPBSI UHO 


2 komentar: