Kamis, 16 Maret 2023

Strawerry Generation: Bagaimana Perspektif Psikologi?

 



Psikologi secara etimologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu psyche (yang berarti jiwa) dan logos (yang berarti ilmu). Artinya, secara etimologi psikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan secara terminologi, psikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku dan proses mental. Perilaku sendiri bermakna sebagai sesuatu yang dilakukan oleh orang baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan proses mental dimaknai sebagai pengalaman internal seseorang dalam bentuk aktivitas berpikir, merasa, mempersepsi, dan lain-lain.


Ilmu psikologi membahas berbagai isu dan fenomena yang terjadi di masyarakat, seperti fenomena strawberry generation. Kasali (2018) mendefinisikan strawbery generation sebagai generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Singkatnya, Kasali (2018) mendefinisikan strawberry generation sebagai generasi masa kini yang manja namun kreatif. Generasi ini dianalogikan dengan buah strawberry sebab generasi sangat indah secara kasat mata, namun lembek, rapuh, dan mudah hancur. Kasali (2018) juga menyebutkan bahwa munculnya fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.

1.    Self diagnose tanpa melibatkan ahli

Melimpahnya informasi yang beredar di sosial media membat generasi masa kini lebih banyak terpapar dan menyerap informasi layaknya spons yang menyerap air. Dengan kata lain, generasi masa kini menyerap informasi apapun yang diterimanya, walaupun kadang belum tepat, yang kemudian coba dicocok-cocokkan antara informasi yang diterima melalui media sosial dan apa yang terjadi kepada dirinya. Hal ini akan menyebabkan generasi masa kini berpikir berlebih (overthinking).

2.    Gaya pengasuhan orang tua terkait kondisi keluarga

Dibesarkan dalam keluarga yang sejahtera mesti disyukuri tetapi berakibat juga pada beberapa hal. Pertama, orang tua pada keluarga sejahtera cenderung memberikan apa yang diminta oleh anak-anaknya. Kedua, waktu orang tua dengan keluarga akan dikompensasikan dalam bentuk materi (seperti uang). Padahal orang tua harus tetap meluangkan waktunya bersama keluarga dan tidak dapat dikompensasi. Ketiga, orang tua sudah tidak terbiasa memberi punishment atas kesalahan-kesalahan anaknya. Keempat, setting unrealistic expectation yaitu situasi ketika orangtua memberi ekspektasi berlebihan kepada anak terkait kehidupan dengan menyebutnya sebagai “si paling hebat” dan sejenisnya. Padahal dalam kenyataannya, anak-anak ini akan menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit. Anak akan bertemu dengan orang-orang yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka. Akibatnya, anak-anak akan lebih mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan di luar rumah.

3.    Narasi orang tua yang kurang berpengetahuan

Akhir-akhir ini jumlah orangtua yang mengatakan anaknya moody makin meningkat. Akibatnya, setelah anak-anak itu besar nanti mereka akan percaya dengan pelabelan atas dirinya itu.

4.    Mudahnya generasi masa kini untuk lari dari kesulitan

Perlu diketahui oleh generasi muda bahwa kemenangan yang sebenarnya adalah ketika berhasil menangani dan menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Lari dari kesulitan justru akan membuat kesulitan tersebut membesar dan makin sukar diselesaikan.

 

Dalam perspektif psikologi, fenomena strawberry generation berkaitan dengan konsep resiliensi. Hendriani (2022) menyebutkan bahwa menurut Grotberg, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi serta kapasitas manusia untuk menghadapi dan memecahkan masalah setelah mengalami kesengsaraan. Reivich dan Shatte dalam Hendriani (2022) menjelaskan bahwa resiliensi ditandai oleh sejumlah karakteristik, seperti: Adanya kemampuan menghadapi kesulitan, ketangguhan menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami.

 

Resiliensi pada remaja dan anak adalah periode yang penting dan menjadi dasar dari masa dewasa, perubahan individu dan perkembangan selama hidup (Budiyati dan Oktaviant, 2020). Menurut Missasi dan Izzati (2019), resiliensi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, yaitu: 1) Spiritualitas; 2) Self Efficacy; 3) Self Esteem; 4) Optimisme; 5) Dukungan sosial. Jaeh & Madihie (2019) menjelaskan bahwa terdapat 5 komponen resiliensi pada remaja yaitu keberartian, kegigihan, kepercayaan pada diri sendiri, kesabaran, keberadaan kesendirian.

 

Kasali (2018) memberikan beberapa alternatif solusi atas fenomena tersebut di atas yaitu sebagai berikut.

1.    Anak muda perlu selalu memperbarui literasi yang dimiliki

Di jaman informasi sangat cepat beredar saat ini, memvalidasi kebenaran dari setiap informasi dengan berbagai cara adalah kewajiban yang harus dilakukan

2.    Hati-hati dalam melakukan self diagnose

Hadapilah sebuah situasi dengan sekuat tenaga karena ujian merupakan hal yang biasa terjadi. Hati-hati terhadap perangkap sosial media, sebab bisa membuat orang menjadi caper dan menceritakan masalah yang dihadapinya, kadang dengan melebih-lebihkan sesuatu.

3.    Orang tua harus memperkuat gaya pengasuhannya

Orang tua harus berperan agar anaknya menjadi generasi yang lebih baik dari dirinya. Jangan terlalu memanjakan anak dengan berlebihan. Berikan konsekuensi jika anak melakukan kesalahan. Mari memberi pemahaman akan banyak hal kepada anak-anak, berdampingan dengan teori pengetahuan. Keberhasilan anak-anak ke depan bukan sekedar dari pengetahuan, tetapi generasi berikutnya perlu menjadi orang yang eksploratif.

4.    Urgensitas peran pendidik

Seorang pendidik harus dapat mengembangkan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran. Keberhasilan pada kehidupan tidak sekedar berdasar dari nilai yang bisa dicapai di kelas, mereka yang juara di kelas belum tentu akan menjadi juara dalam kehidupan.

 

Referensi

Kasali R. (2018). Strawberry Generation. Jakarta: Penerbit Mizan

Hendriani W. (2022). Resiliensi Psikologis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada Media.

0 komentar:

Posting Komentar