Psikologi secara etimologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu psyche (yang berarti jiwa) dan logos (yang berarti ilmu). Artinya, secara etimologi psikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan secara terminologi, psikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku dan proses mental. Perilaku sendiri bermakna sebagai sesuatu yang dilakukan oleh orang baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan proses mental dimaknai sebagai pengalaman internal seseorang dalam bentuk aktivitas berpikir, merasa, mempersepsi, dan lain-lain.
Ilmu psikologi membahas berbagai isu dan fenomena yang terjadi di masyarakat,
seperti fenomena strawberry generation. Kasali (2018) mendefinisikan strawbery
generation sebagai generasi
yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.
Singkatnya, Kasali (2018) mendefinisikan strawberry generation sebagai
generasi masa kini yang manja namun kreatif. Generasi ini dianalogikan dengan
buah strawberry sebab generasi sangat indah secara kasat mata, namun lembek,
rapuh, dan mudah hancur. Kasali (2018) juga menyebutkan bahwa munculnya
fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.
1. Self
diagnose tanpa
melibatkan ahli
Melimpahnya
informasi yang beredar di sosial media membat generasi masa kini lebih banyak
terpapar dan menyerap informasi layaknya spons yang menyerap air. Dengan kata
lain, generasi masa kini menyerap informasi apapun yang diterimanya, walaupun
kadang belum tepat, yang kemudian coba dicocok-cocokkan antara informasi yang
diterima melalui media sosial dan apa yang terjadi kepada dirinya. Hal ini akan
menyebabkan generasi masa kini berpikir berlebih (overthinking).
2. Gaya
pengasuhan orang tua terkait kondisi keluarga
Dibesarkan dalam keluarga yang
sejahtera mesti disyukuri tetapi berakibat juga pada beberapa hal. Pertama, orang
tua pada keluarga sejahtera cenderung memberikan apa yang diminta oleh
anak-anaknya. Kedua, waktu orang tua dengan keluarga akan dikompensasikan dalam
bentuk materi (seperti uang). Padahal orang tua harus tetap meluangkan waktunya
bersama keluarga dan tidak dapat dikompensasi. Ketiga, orang tua sudah tidak
terbiasa memberi punishment atas kesalahan-kesalahan anaknya. Keempat, setting
unrealistic expectation yaitu situasi ketika orangtua memberi ekspektasi
berlebihan kepada anak terkait kehidupan dengan menyebutnya sebagai “si paling
hebat” dan sejenisnya. Padahal dalam kenyataannya, anak-anak ini akan
menghadapi situasi lebih besar dan lebih sulit. Anak akan bertemu dengan orang-orang
yang lebih hebat dan pandai dari diri mereka. Akibatnya, anak-anak akan lebih
mudah kecewa dan lebih mudah tersinggung karena perbedaan kondisi di dalam dan
di luar rumah.
3. Narasi
orang tua yang kurang berpengetahuan
Akhir-akhir
ini jumlah orangtua yang mengatakan anaknya moody makin
meningkat. Akibatnya, setelah anak-anak itu besar nanti mereka akan percaya
dengan pelabelan atas dirinya itu.
4. Mudahnya
generasi masa kini untuk lari dari kesulitan
Perlu
diketahui oleh generasi muda bahwa kemenangan yang sebenarnya adalah ketika
berhasil menangani dan menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Lari dari
kesulitan justru akan membuat kesulitan tersebut membesar dan makin sukar
diselesaikan.
Dalam perspektif psikologi,
fenomena strawberry generation berkaitan dengan konsep resiliensi.
Hendriani (2022) menyebutkan bahwa menurut Grotberg, resiliensi didefinisikan
sebagai kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi serta kapasitas manusia untuk
menghadapi dan memecahkan masalah setelah mengalami kesengsaraan. Reivich dan
Shatte dalam Hendriani (2022) menjelaskan bahwa resiliensi ditandai oleh
sejumlah karakteristik, seperti: Adanya kemampuan menghadapi kesulitan,
ketangguhan menghadapi stres ataupun bangkit dari trauma yang dialami.
Resiliensi pada remaja dan anak adalah periode yang penting dan menjadi
dasar dari masa dewasa, perubahan individu dan perkembangan selama hidup
(Budiyati dan Oktaviant, 2020). Menurut Missasi dan Izzati (2019), resiliensi dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor, yaitu: 1) Spiritualitas; 2) Self Efficacy; 3) Self Esteem; 4)
Optimisme; 5) Dukungan sosial. Jaeh & Madihie (2019) menjelaskan
bahwa terdapat 5 komponen resiliensi pada remaja yaitu keberartian, kegigihan,
kepercayaan pada diri sendiri, kesabaran, keberadaan kesendirian.
Kasali
(2018) memberikan beberapa alternatif solusi atas fenomena tersebut di atas yaitu
sebagai berikut.
1. Anak
muda perlu selalu memperbarui literasi yang dimiliki
Di jaman informasi sangat cepat
beredar saat ini, memvalidasi kebenaran dari setiap informasi dengan berbagai
cara adalah kewajiban yang harus dilakukan
2. Hati-hati
dalam melakukan self diagnose
Hadapilah sebuah situasi dengan sekuat tenaga
karena ujian merupakan hal yang biasa terjadi. Hati-hati terhadap perangkap
sosial media, sebab bisa membuat orang menjadi caper dan menceritakan masalah
yang dihadapinya, kadang dengan melebih-lebihkan sesuatu.
3. Orang
tua harus memperkuat gaya pengasuhannya
Orang tua harus berperan agar anaknya menjadi
generasi yang lebih baik dari dirinya. Jangan terlalu memanjakan anak dengan
berlebihan. Berikan konsekuensi jika anak melakukan kesalahan. Mari memberi
pemahaman akan banyak hal kepada anak-anak, berdampingan dengan teori
pengetahuan. Keberhasilan anak-anak ke depan bukan sekedar dari pengetahuan, tetapi
generasi berikutnya perlu menjadi orang yang eksploratif.
4. Urgensitas
peran pendidik
Seorang pendidik harus dapat
mengembangkan situasi yang menyenangkan dalam pelajaran. Keberhasilan pada
kehidupan tidak sekedar berdasar dari nilai yang bisa dicapai di kelas, mereka
yang juara di kelas belum tentu akan menjadi juara dalam kehidupan.
Referensi
Kasali
R. (2018). Strawberry Generation. Jakarta: Penerbit Mizan
Hendriani
W. (2022). Resiliensi Psikologis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Prenada
Media.
0 komentar:
Posting Komentar