Selasa, 12 April 2022

Menyibak Tirai Nelangsa

Oleh : Ahmad Amirul Sir


Hari jumat itu menjadi hari nahas bagi Sukardi Kartono, seorang menteri sekaligus 
kandidat terkuat kursi kepresidenan. Ia ditangkap atas tuduhan pelecehan seksual pada seorang wanita berinisial I-S yang merupakan asisten pribadinya. Sepekan setelah pria paruh baya itu ditangkap, kuasa hukum S-K melenggang ke pihak kepolisian melaporkan I-S dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik yang telah dilakukan pada S-K. Ia melenggang bersama Ansori, seorang aktivis HAM ternama. Berbagai media massa memberitakannya secara langsung dari kantor kepolisian. Warganet kemudian bersimpati pada S-K dengan munculnya Ansori. 

Di saat yang sama, seorang siswi yang duduk di bangku kantin sebuah SMA, seketika membisu. Kuduknya bergidik sedang bibirnya terkatup rapat. Dengan raut wajah muram ditambah mata berkaca-kaca, gadis itu menatap gentar seorang pria paruh baya dengan pipi menonjol dan bibir kehitaman yang sedang memberi keterangan di layar televisi yang di dadanya melekat sebuah papan nama bertuliskan ‘Ansori’. Pikiran siswi itu kemudian berkecamuk. Memorinya seolah terkejar oleh sesosok raksasa hitam di ruangan sempit dan gelap. Ia mual. Lalu meninggalkan begitu saja santapan yang ada di hadapannya. Orang-orang mengenal gadis itu dengan nama Dinda.


***

Sinar mentari pagi di akhir pekan kian menghangat. Kota tenggelam dalam kesibukan sejak dini hari. Hari ini, sebuah minibus hitam terparkir tepat di depan rumah Dinda. Hartono dan Kartini, kedua orang tua Dinda akan keluar kota selama 5 hari karena urusan pekerjaan. Setelah mobil itu berlalu, Dinda diikuti Ansori berjalan kembali masuk ke dalam rumah.

“Dinda, sini dulu, Nak!” panggil Ansori, panggil paman Dinda yang tinggal bersama 
keluarga Dinda sejak 10 tahun lalu.

“Iya om? Ada apa?” sambut Dinda pada panggilan saudara ayahnya yang sedang 
duduk membaca sebuah buku di sofa berkaki pendek di ruang tamu.

"Orangtuamu kan lagi keluar kota, jadi tolonglah buatkan kopi untuk ommu ini, Nak,” pinta Ansori sembari mengelus pinggang belakang Dinda yang berdiri di sisi kanannya. Kedipan mata dan senyum ambigu mengakhiri permintaannya. Dinda tersentak.

“I... I… Iya om,” ucap Dinda terbata-bata sembari meng-iya-kan permintaan Ansori. 

Tak lama, Dinda membawa secangkir kopi hitam pekat untuk omnya penuh risau. Saat melalui omnya, gadis belia itu merasakan sebuah tangan meremas bagian belakang tubuhnya. Dinda lalu mengambil langkah seribu menuju kamarnya. Di sela itu, ia lalu 
menoleh dan mendapati Ansori tersenyum penuh gairah padanya.

Ia lalu duduk sembari melingkarkan tangan ke lututnya di sudut kamar, berharap tak 
tampak. Ingatan masa lalu muncul satu demi satu dalam benak Dinda, seraya ia mengurung diri. Rabaan, sentuhan, hingga pelukan dan ciuman saban kali dilakukan Ansori saat orangtuanya bepergian.

Pikirannya mulai berkecamuk. Benaknya penuh tanya. Apa wajar jika ia seperti itu? 
Sungguh tidak wajar perlakuannya bukan? Bagaimana jika papa sama mama tahu hal ini? Apa yang akan dilakukan papa sama saudaranya itu? Apa yang akan terjadi jika teman-temanku tahu bahwa aku sudah tidak berharga?. Tak lama, tetes demi tetes membasahi pipinya. Sesenggukan kemudian terdengar dari mulut mungilnya.

Dinda menangis sejadi-jadinya. Air matanya mengalir deras. Aaarrrggghhh, teriak Dinda kuat seraya menarik rambut dan air mata membasahi lantai kamar. Ia merasa tak berharga. Dinda tak bisa menerima dirinya. Setelah tersengut hampir 6 jam, air matanya mulai mengering, meninggalkan jejak luka di batin seorang gadis belia. 

Gadis belia itu lalu tertidur pulas dengan wajah dan lantai membasah karena keringat dan air mata, rambut awut-awutan, mata sembab, hingga luka dalam yang membekas 
sepanjang hayatnya.

***

Hari pertama setelah Dinda tidak menerima dirinya. Ia yang telah melaksanakan ibadah salat Subuh, duduk mematung diatas sajadahnya. Hanya sekejap saja ketenangan 
menghampiri relung kalbunya. Tak lama, pikirannya kembali berkecamuk. Dinda tak 
menyangka omnya seperti itu. 

Dinda meratap dalam doanya. “Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini. Aku tak tahu siapa 
yang akan menerima orang sepertiku. Aku hina. Aku malu dan jijik pada diriku sendiri.” Ia benar-benar malu pada keadaannya dan tak ingin seorang pun menemuinya. Ketenangan lalu menghampiri relung kalbunya. Memorinya lalu terbang pada kedua orang tuanya yang berada jauhh darinya.

Dinda lalu bertanya-tanya. Apa orangtuaku perlu tahu soal ini? Sepertinya tidak. Sebab jika mereka tahu, pekerjaan mereka akan terganggu. Aku akan menjadi perusak hubungan Om Ansori dan Ayah. Keluarga besar akan berseteru. “Papa, Mama. Maafkan kesalahan anakmu yang tak berharga ini,” ratap anak tunggal Hartono dan Kartini itu.

Dinda kemudian memikirkan hidupnya. Aku sekarang sudah tidak punya masa depan. 
Kalau begini, aku melacur saja lah. Atau mungkin aku lebih baik meninggalkan dunia ini. Memangnya siapa yang mau menerima manusia hina sepertiku?. Tatapan kosongnya tertuju pada sudut kamarnya yang lain. 

Tak lama, smartphone milik Dinda berdering. Doni, tetangga sekaligus sahabat Dinda menelepon. “Din, aku ada tugas nih. Aku ke rumahmu ya,” ujar Doni.

“Iya. Nanti langsung aja ke ruang tamu,” balas Dinda dengan nada lemah diselingi 
senggukan kecil.

Mendengar nada bicara Dinda, Doni khawatir. “Kamu kenapa, Din? Kamu gak apa-apa, kan?” .

Dinda lalu menjawab, didahului tarikan napas panjang untuk memperbaiki nada 
suaranya.“Iya, gak apa-apa kok.”

Tak lama, Dinda mendapati Doni telah duduk di sofa berkaki pendek di ruang tamu  rumahnya. Hal itu disusul suara panggilan pada Dinda. Dinda lalu menghampiri tetangganya itu dan mencoba untuk bersikap seperti biasa. Ia menunjukkan pada teman masa kecilnya itu 
bahwa tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Mereka berencana membeli beberapa makanan ringan lewat layanan pesan antar. Namun, Dinda secara iseng membuka obrolan perihal pelecehan seksual. 

“Don, hmmmm,” kata Dinda ragu-ragu. “Menurutmu kalau kamu disentuh sama orang lain tanpa seizinmu, bagaimana?” tanya Dinda dengan nada lemah.

“Ya biasa aja kali, Din,“ timpal Doni langsung. “Masa disentuh dikit, risi. Disenyumin dikit, malu. Kita jadi orang jangan lebay banget deh”. Bak tersambar petir di siang bolong, Dinda tersentak mendengar perkataan itu. Ia tak menyangka Doni akan berpikiran seenteng itu.

“Kok bisa kamu anggap biasa aja yang kayak begituan?” balas Dinda dengan nada sedikit marah.

"Ya, emang biasa aja Din. Mungkin orangnya lagi bercanda doang. Masa begitu aja baper,” jawab Doni santai.

Mendengar itu, Dinda seakan naik pitam. “Bercanda doang?! Baper?!” kata Dinda geram seraya melayangkan tatapan tajam pada cowok stylish yang duduk di sampingnya itu.

“Terus, kalau kamu bertemu orang yang udah digituin gimana?” lanjut Dinda

“Hih, jijiklah aku. Emang kenapa kamu nanya-nanya soal itu? Kamu udah pernah nganu ya?” tanya Doni iseng. Dinda seketika tertegun. Perasaan pahit menjalari sekujur tubuhnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Eh malah ngambek…,” canda Doni. Namun, melihat wajah Dinda yang masih muram, ia berkata lagi, “Memang kenapa Din? Ada masalah apa?”.

“Hm… Ah, nggak kok, aku hanya bertanya saja,” respon Dinda memaksakan diri untuk tersenyum sedang batinnya berkecamuk. 

“Apa sih Din? Enggak jelas banget deh,” kata Doni merajuk. Cowok itu lalu kembali fokus mengerjakan tugasnya. Sedangkan Dinda menatap Doni dengan perasaan nelangsa. Apa yang harus kulakukan? Doni saja berpikir begitu. Kalau aku beneran cerita ke Doni, dia pasti akan jijik sama aku. Siapa yang akan benar-benar percaya kalau aku cerita?

***

Kamar kecil Dinda, tempat teraman baginya saat ini kian lama ditelan gelap malam. Walau gelap malam menyelimuti, hiruk pikuk kota tak henti-hentinya. Setelah melaksanakan salat Isya, ia kembali merentangkan tubuhnya di atas sajadah. Air matanya kembali menitik saat memori-memori kelam masa lalu kembali menghantui benak Dinda. 

Tak lama, dering smartphone Dinda kembali terdengar. Kali ini adalah panggilan video dari Sinta, sahabat Dinda yang tinggal tidak jauh dari rumahnya. “Haloo Dindaa.. Kangen nih sama kamu. Kita udah lama nggak ketemu,” ujar Santi curhat.

Dinda lalu merespon dengan nada lesu. “Halo juga, San. Aku lagi nggak enak badan nih sekarang.”

“Dinda? Kamu gak apa-apa? Kamu barusan nangis ‘kan? Kok nangis, Din?” tanya Santi penuh selidik.

“Aku gak apa-apa kok, San. Terima kasih yah udah pengertian,” jawab Dinda menyembunyikan lukanya.

"Serius? Kalau kamu ada masalah, cerita dong, Din. Supaya masalah itu gak kamu pendam sendiri,” balas Santi.

"Memangnya kamu serius mau dengerin ceritaku?” tanya Dinda ragu.

“Dua rius malah. Tunggu yah, aku ke rumahmu sekarang,” jawab Santi.

“Iya deh. Nanti langsung ke kamar aja. Hati-hati, San,” balas Dinda.

Sekitar 15 menit kemudian, gagang pintu perlahan bergerak turun disusul suara ketukan pintu yang diiringi panggilan berasal dari suara yang cukup familiar bagi Dinda. Santi telah tiba. Dinda lalu membukakan pintu bagi gadis berambut pendek itu. Santi terperanjat melihat kawan baiknya tampak berubah drastis. Mata Dinda terlihat sembab. Wajahnya murung, tubuhnya tampak lunglai. Bahkan bajunya lusuh seakan-akan tidak pernah dicuci beberapa hari.

“Kamu kenapa, Din? Kok sekarang kayak gini sih?,” tanya Santi panik seraya memeriksa sekujur tubuh Dinda dengan khawatir dan menjatuhkan kantong plastik berisi makanan serta minuman ringan yang sengaja dibelinya di miniswalayan dekat rumah Dinda. 

Dinda terdiam. Matanya berkaca-kaca melihat perhatian sahabatya itu. Dinda lalu merengkuh Santi dan menangis sejadi-jadinya di pundak sahabatnya itu. Tangan Santi refleks mengusap kepala gadis yang sedang tersedu di pundaknya.

“Sini, sini. Jangan menangis lagi, Din. Udah ada aku kok sekarang. Yok, cerita ke aku ya. Supaya kamu gak pendam masalah sendiri. Berat loh itu,” ujar Sinta seraya bergerak menuntun Dinda untuk duduk di lantai. Dinda lalu menceritakan tentang perlakuan omnya.

“Terus om Ansori sekarang ada dimana, Din?” tanya Sinta penasaran.

“Tadi aku lihat di berita, dia lagi nanganin kasus pembunuhan di luar kota, mungkin lusa dia udah pulang,” jawab Dinda dengan nada lesu.

Santi lalu mengelus punggung Dinda. “Yang sabar, Din. Kita buat om kamu yang bejat itu ngerasain akibatnya,” ancam Sinta pada Ansori seraya membulatkan tekadnya.

Namun, Dinda sangsi pada ancaman Santi itu. “Caranya gimana, San? Kamu lihat aja. Dia itu aktivis, yang kalau di televisi pasti sebagai orang yang sangat baik. Citra dia di masyarakat bagus banget, San.”

Santi kemudian berpikir. Tak lama, sebuah ide tercetus di pikirannya. “Kamu harus cerita jujur lewat video yang akan kita sebar di media sosial lewat tagar. Nanti warganet bakal tahu bagaimana tingkah bejat om kamu itu jika di belakang layar kaca,” usul Santi menjelaskan idenya dengan sangat meyakinkan.

“Emang bakalan dipercaya? Kalau nanti aku dihujat, dicaci, dimaki, gimana?” tanya Dinda khawatir.

“Kan belum dicoba, Din. Yok bisa yok!” seru Santi berapi-api.

“Ya udah deh, aku ganti pakaian dulu,” ujar Dinda tak terlalu semangat.

Setelah Dinda mengganti pakaian, Santi lalu merekam kesaksian Dinda dalam bentuk video, tetap dengan wajah dan suara yang disamarkan. “San, kayaknya kita gak usah ngelakuin ini deh. Ini tuh sama aja aku malu-maluin omku sendiri,” ujar Dinda ragu atas apa yang ia lakukan bersama Santi.

Dengan tekad bulat, Santi meyakinkan Dinda. “Din, kalau kita enggak ngelakuin ini, Om Ansori gak bakal jera. Kamu bakalan digituin terus sama dia. Aku gak rela seumur hidup kalau ada orang yang ngerendahin orang lain. Apalagi itu kamu, Din.”

Dinda masih terdiam, Santi melanjutkan lagi dengan nada menghibur. “Malam ini aku nginep bareng kamu kok. Mamaku juga udah izinin sebelum kesini.” Mendengar itu mata Dinda kembali berbinar. ”Yang bener, Sin?” tanya Dinda antusias.

Sinta lalu meresponnya dengan penuh semangat. “Iya, aku bawa motor. Jadi besok 
subuh, kita jalan bareng ke pantai, yang di depan kantor walikota itu loh,” ujar Sinta.

“Ini memang gak bakalan mudah, Din. Nanti pasti ada orang-orang yang gak percaya bahkan mengira kamu bohong. Tapi, yang perlu kamu tahu, ada banyak orang yang sebenarnya peduli, mau dengerin, bahkan perjuangin keadilan buat orang-orang yang 
bernasib sama bahkan lebih buruk dari kamu, Din,” lanjut Santi seraya mengunggah video itu di laman media sosialnya dengan tagar #PelecehanSeksualAnsori.

Tidak butuh waktu lama, unggahan itu viral di media sosial. Unggahan Santi perihal 
masalah Dinda ramai dikunjungi warganet. Berbagai tanggapan dan komentar negatif muncul dengan tagar #DindaPansos.

“Halah… Pansos ini mah. Mentang-mentang pak Ansori lagi naik daun, masalahnya 
malah muncul… #DindaPansos

“Pak Ansori ngelecehin anak SMA? Gak mungkin lah. Dia itu orangnya religius. Lagian kalau emang bener, itu bertentangan dengan apa yang selama ini dia perjuangin #PelecehanSeksualAnsori

“Playing victim ini mah. Temen gue malah bilang kalau si #DindaPansos itu pacaran 
sama sahabatnya sendiri. ‘Main’ sama pacar sendiri kok nyeret pak Ansori? Hahahahaha”

#DindaPansos ‘anu’ nya pak Ansori besar gak ? Dia kalau ‘main di ranjang’ pasti hebat, sehebat nyembunyiin sifat aslinya... Wkwkwkwkwk”

“Kok bukan si #DindaPansos yang ngupload ini sih? Makin gak yakin kalau #PelecehanSeksualAnsori

Dinda terperanjat melihat isi kolom komentar unggahan itu. Ia lalu meringkuk tubuhnya. Tatapannya kosong. Ia tak percaya jika orang-orang akan memandangnya seperti  itu. Santi lalu membangunkan Dinda dan merangkulnya.

“Kita harus kuat, Din. Oya, kamu belum lihat direct massage akun media sosialku ‘kan? Isinya banyak banget social movement, youtuber sampai pemengaruh yang peduli dan mau dengerin cerita yang sebenarnya terjadi langsung dari kamu, Din,” ujar Sinta dengan mata berbinar-binar.

“Alhamdulillah deh kalau begitu. Tapi setelah itu apa, Sin? Toh juga enggak ada yang percaya. Lihat aja tuh komentar di unggahanmu, pada negatif semua ‘kan,” ujar Dinda resah.

“Gini, Din. Semakin banyak social movement, youtuber sampai pemengaruh yang dengerin cerita kamu itu akan ngaruh ke publik. Biarin aja mereka gak percaya dulu atau mengira kamu bohong, sampai mereka denger cerita dari kamu langsung yang disebarin lewat konten-konten para pemengaruh, youtuber, sampai social movement. Dengan begitu, secara enggak langsung semua pihak bakalan perjuangin keadilan buat kamu, Din,” ujar Sinta menenangkan sahabatnya itu.

“Sinta, terima kasih ya udah dengar, percaya dan nemenin aku ngelewatin masalah ini,” tutur Dinda.

"Iya. ‘Kan sahabat harus saling tolong? Yok, kita tidur. Besok subuh ‘kan mau jalan bareng,” ujar Sinta dengan semangat.

Dinda lalu merespon semangat Sinta itu dengan menarik selimut. “Gas lah pokoknya, hahahahaha,” ujarnya seraya tergelak.

***

Nuansa pantai pagi itu masih sejuk. Pohon-pohon kelapa dengan santai berayun ke sana kemari. Jauh di ujung pantai terdengar riuh rendah anak-anak saling melempar tawa. Di antara itu, tampak Dinda duduk sembari melingkarkan tangannya ke lutut. Pandangannya lurus menatap horizon jauh di sana. Angin sepoi lembut mengelus punggungnya, menarikan anak-anak rambut yang sekali menghalangi sendu matanya. Ombak bergulung riang sedikit demi sedikit menyapukan pasir ke kakinya. Dihadapannya, laut begitu lepas seakan sedia merawat luka batin Dinda. Ia lalu membuka luka batinnya pada laut yang tenang.

Luka ini sangatlah dalam, memendamnya sendiri takkan membuatku lebih baik. Menyalahkan diriku sendiri hanya membuat semuanya bertambah buruk. Akan lebih baik jika aku bisa menyatakan bahwa aku tidak baik-baik saja. Bahwa aku pernah ada dalam situasi ini namun, terima kasih buat orang-orang yang mengasihiku karena membantu memaknai harkatku lagi. Luka ini akan selalu ada, sepanjang hayatku. Namun aku harus bisa menerimanya sebagai bagian dari perjalananku, sebab langkahku masih panjang. Jalan hidupku bergantung pada diriku sendiri bukan ditentukan orang lain. Terima kasih juga buat orang-orang yang telah membuka matanya. Telinganya. Hingga relung kalbunya sehingga mampu menyelami kisahku. Tanpa kalian, saat ini aku takkan sanggup menjadi diriku sendiri dan bersyukur menjadi bagian dari indahnya ciptaan Tuhan.

Kolaka, 20 Oktober 2021
---------------------------------------------------------------------
Tulisan ini rampung setelah melewati riset yang diakses penulis di berbagai platform. Tulisan ini menjadi naskah resmi yang diikutkan penulis dalam babak Final Lomba Cipta Cerpen di ajang Festival Literasi Siswa Indonesia (FeLSI) SMA tingkat Nasional tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Prestasi Nasional Kemendikbudristek RI. Dalam ajang tersebut, naskah ini mendapat penghargaan khusus sebagai 10 naskah cerpen terbaik.

2 komentar: