Sabtu, 04 September 2021

Resensi Novel "Anak Rantau" (2017) karya A.Fuadi

 Oleh : Ahmad Amirul Sir



            Judul             :  Anak Rantau

            Penulis         :  A. Fuadi

            Tahun           :  2017

            Penerbit       :  PT. Falcon Interactive

            Tebal             : 370 halaman


Novel ini adalah novel keluaran 2017 yang telah banyak dibaca oleh orang-orang yang berasal dari berbagai profesi dan latar belakang. Rata-rata pembacanya memiliki kesamaan “sedang/akan menjadi perantau”. Novel ini merupakan novel terakhir yang ditulis oleh Ahmad Fuadi setelah trilogi “Negeri 5 Menara”. Jika trilogi tersebut merupakan novel yang ditulis A. Fuadi berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri, sedangkan novel “Anak Rantau” merupakan karya fiksi A. Fuadi. Novel “Anak Rantau” sangat sukses di pasaran. Bahkan novel “Anak Rantau’ menjadi salah satu bestseller pada tahun 2019 dan terpilih sebagai “Fiksi Terbaik“ dalam ajang Islamic Book Award tahun 2019.

“Anak Rantau” merupakan novel berlatar budaya Minangkabau, Sumatera Barat dengan tokoh utama seorang anak bernama lengkap Donwori Bihepi atau biasa dipanggil Hepi. Ia adalah anak laki-laki yang tinggal di Jakarta bersama ayahnya, Martiaz dan kakaknya, Dora. Ibunya meninggal persis 30 menit setelah melahirkan Hepi. Hepi merupakan anak yang cerdas, pemberani, suka membaca, namun kelakuannya yang tidak disiplin dan nakal membuat gurunya resah akan kelakuan Hepi. Walaupun itu, Hepi berkelakuan seperti itu karena kurangnya kasih sayang dan perhatian yang diberikan Martiaz kepada anak bungsunya itu.

Suatu hari di hari pembagian rapor, Martiaz menerima rapor anaknya yang “bersih” tanpa  angka sedikit pun. Hal itu membat Martiaz marah besar dan tidak mampu lagi untuk menahan amarahnya. Martiaz bahkan tak tahu lagi harus menghukum Hepi dengan cara apa. Higga akhirnya, Martiaz menemukan ide baru untuk menghukum anak bungsunya ini. Martiaz lalu mengajak Hepi pulang kampung ke Tanjung Durian, tanpa memberi tahu Hepi alasan sebenarnya diajak pulang kampung oleh Martiaz. 

Hepi sangat bahagia bisa merasakan pulang kampung selama hidupnya. Namun, tak lama, Hepi tahu sendiri maksud ayahnya mengajak pulang ke kampung halaman. Hepi sangat marah hingga harus tunggang langgang mengejar bis ayahnya yang kembali ke Jakarta. Akhrnya, Hepi hidup bersama kakek dan neneknya di Tanjung Durian bertemankan dendam terhadap ayahnya, karena merasa ditinggalkan dan dibuang oleh ayahnya sendiri. Hepi pun bertekad untuk bekerja keras mendapatkan uang agar bisa kembali ke Jakarta.

Usaha dan kerja keras Hepi mengumpulkan uang di kampung untuk kembali ke Jakarta tidaklah mudah. Hepi harus bekerja serabutan dengan mencuci piring di warung Mak Tuo Ros, menjadi kurir dan pesuruh Bang Lenon, hingga menjadi pengurus surau. Semuanya dia lakukan diam-diam tanpa sepengetahuan kakek neneknya. Selama di kampung, Hepi harus mengikuti aturan kakeknya dengan melanjutkan sekolah SMP di SMP Negeri terdekat hingga belajar mengaji dan tilawah kepada kakeknya. Semuanya harus dilakukan dengan disiplin. Untungnya, ada nenek Hepi yang sangat menyayangi cucu lelakinya itu.

Selama di kampung, Hepi bersahabat dengan Attar dan Zen. Attar adalah anak yang fokus, sehingga sangat pandai menembak dengan ketapel yang dimilikinya. Sedangkan Zen adalah anak yang penyayang binatang dan sangat menjunjung tingg reputasinya sebagai anak kampung. Mereka bertiga bersekolah, bermain, mengurus surau, hingga melakukan petualangan seru bersama.

Hepi bersama Attar dan Zen membentuk tim detektif cilik yang melakukan penyelidikan-penyelidikan terhadap masalah yang terjadi dikampungnya, hingga membawa mereka mengarungi petualangan luar biasa. Mulai dari mendatangi sarang jin yang berada di loteng tepat dibawah kubah surau dan menjadikannya “sarang elang” tempat mereka berkoordinasi, menghadapi “Pandeka Luko” sang lelaki bermata harimau yang ternyata adalah pahlawan kebangsaan gila yang mengobati luka lamanya di rumah usang yang tak terjamah warga kampung, menangkap maling kampung yang meresahkan warga, memburu biduk hantu pengedar narkoba yang mencemari warga kampung, hingga menyusup ke markas pembunuh dan pengedar narkoba lintas sumatera yang berada di kampungnya. 

Pada akhirnya, Hepi menemukan makna dendamnya selama ini. Di akhir petualangannya, Hepi baru menyadari bahwa dendamnya menyelimuti rasa rindu dan rasa takut ditinggalkan ayahnya. Hepi juga menyadari bahwa pepatah “alam terkembang jadi guru” adalah benar adanya, yaitu kampungnya menjadi tempat belajar dan berguru berbagai ilmu kehidupan yang tidak bisa ia dapatkan di Jakarta.

Secara umum, novel “Anak Rantau” bermuatan kekeluargaan, persahabatan, petualangan, dan pemaknaan hidup. Melalui novel ini, kita diajak untuk ikut kembali mengembara dan memperoleh pelajaran hidup, bukan hanya di tanah perantauan, tetapi juga di kampung halaman untuk menemukan kembali pelajaran hidup yang terlupakan.

___________________________________________

Resensi ini dibuat penulis dalam rangka mengikuti ajang LITERASIONAL cabang resensi untuk siswa (i) SMA/MA/SMK/sederajat yang diselenggarakan secara nasional oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dalam ajang tersebut, resensi ini meraih juara III (tiga) 

0 komentar:

Posting Komentar