Jumat, 03 Juli 2020

Film Sokola Rimba (2013) : Pendidikan untuk Hutan Indonesia

Oleh : Ahmad Amirul Sir


            Saur Marlina Manurung adalah peempuan berdarah Batak yang merupakan perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Sebagaimana perempuan Batak lainnya, ia biasa dipanggil Butet. Sosok Butet Manurung menjadi terkenal setelah mendirikan Sokola Rimba pada tahun 2000. Kontribusinya tak lagi dipandang sebelah mata, setelah mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award pada tahun 2014 atas dedikasinya untuk anak-anak dari Suku anak Dalam di pedalaman Jambi. Butet menuliskan pengalamannya ke dalam buku yang terbit pada tahun 2007 yang berjudul “Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba” dan diadaptasi ke film dengan judul yang sama pada tahun 2013 dengan penggarap Riri Riza sebagai sutradara dan Brisia Nasution sebagai Butet Manurung. Film ini diproduksi oleh Miles Films.

            Tentu menjadi hal yang tidak mudah bagi Butet Manurung untuk memulai semuanya. Kedatangannya pada salah satu pemukiman suku Anak Dalam yang masih menggunakan koteka adalah hal baru bagi suku itu sendiri. Aksara latin dan angka arab adalah hal yang asing bagi mereka. Kehadiran Butet Manurung di tengah-tengah kehidupan suku Anak Dalam adalah sebuah harapan bagi hutan Indonesia.

            Kecintaannya pada hutan menjadi prioritas utama dalam hidupnya. Sehingga, maraknya pembalakan liar menjadi alasan bagi Butet Manurung untuk memulai program edukasi bagi suku Anak Dalam. Butet Manurung memulai program edukasinya bagi anak-anak dari suku Anak Dalam dengan mengajar berhitung dan membaca. Hal itu dia lakukan dengan harapan bahwa ketika mereka bertemu dengan pembalak liar yang akan mengambil alih lahan mereka, mereka bisa membuka kitab hukum. Selain itu, Butet juga berharap agar ketika mereka pergi berjualan rotan di pasar, mereka tidak mudah ditipu oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab.

            Ketidak setujuan para orang tua dari suku Anak Dalam terhadap program ini merupakan hambatan tersendiri. Sehingga, anak-anak perlu memberikan penjelasan terkait edukasi ini. Selain itu, sikap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wanaraya, tempat Butet bekerja yang selalu menunda-nunda program itu merupakan hambatan yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari permintaan bang Bahar (Rukman Rosadi) untuk menunda program edukasi bagi suku Anak Dalam dengan dalih kekurangan anggaran.

            Melihat kondisi saat ini yang masih dibatasi oleh pandemi, membuat suku-suku yang tinggal di pedalaman Indonesia semakin terisolasi dan tidak berpendidikan. Sehingga, keterjagaan hutan dari pembalakan liar makin menurun. Maka kehadiran sosok pendidik bagi orang-orang yang tinggal di pedalaman menjadi anugrah bagi mereka dan menjadipenyelamat hutan Indonesia.

        Indonesia masih sangat membutuhkan sosok-sosok layaknya Butet Manurung yang rela mendidik suku-suku pedalaman dengan harapan bahwa mereka adalah prajurit-prajurit penjaga kelestarian hutan Indonesia. Hal ini juga menjadi solusi yang tepat untuk mengurangi jumlah titik panas di hutan-hutan Indonesia yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Dengan hadirnya sosok pendidik di tengah-tengah kehidupan di tengah-tengah suku-suku pedalaman, tak hanya memberikan manfaat edukatif bagi suku-suku tersebut, tapi juga bagi keestarian hutan yang sangat kita cintai.

4 komentar: